Bayangan akan nikmatnya kuliner Indonesia sudah di ujung lidah. Terbayang juga senyum bahagia orang tua kami yang akhirnya bisa memeluk Kautsar, cucu pertama dari pihak saya dan suami yang belum pernah mereka temui sejak lahir.
Tapi ternyata kembali ke tanah air tidak seindah imajinasi. Tiba-tiba saya malah merasa asing dengan lingkungan tempat saya dibesarkan. Semuanya membuat saya tidak nyaman. Lalu ketidaknyamanan tersebut saya respon dengan keluhan dan kutukan tiada akhir.
***
Perasaan asing tersebut pada awalnya tidak bisa saya pahami. Saya terkejut karena ternyata sulit sekali beradaptasi kembali dengan kondisi di Indonesia, lebih tepatnya, dengan kota Jakarta yang semrawut ini. Saya kesal dengan udara panas, jengkel dengan kemacetan, marah dengan orang yang merokok sembarangan, dan malas berbasa-basi dengan oknum yang suka berkomentar nyinyir. Sampai sekarang bahkan hati saya masih mau meledak jika melihat orang membuang sampah seenaknya.
Padahal, hal-hal tersebut tentu sudah saya antisipasi sebelum kembali ke ibu kota. Toh dulu saya mampu menelan semua kekacauan ini dengan pasrah.
Tapi kini kenyataan tersebut menjadi sangat susah diterima. Diperparah lagi, saya harus kembali menemukan ritme dan rutinitas dalam mengasuh anak.
Misalnya begini, sejak di Amerika, saya jadi sangat memperhatikan etika ketika sakit. Pasti saya akan menutup hidung dan mulut ketika bersin atau batuk, kerap mencuci tangan dengan sabun di bawah air mengalir, dan menghindari kontak fisik langsung dengan orang lain, terutama anak kecil. Saya tidak ingin menjadi agen penyebar virus.
Maka saat kembali ke Indonesia, saya mengharapkan etika yang sama dari orang lain. Saya tidak ingin anak saya dicium dan diajak bersalaman oleh orang yang sedang sakit. Tapi tentu saya akan dianggap tidak sopan (dan lebay) jika melarang orang tersebut untuk mendekati si kecil. Terutama jika mereka merupakan saudara yang lebih tua. Apalagi di sisi lain, saya tau kalau mencium merupakan ungkapan kasih sayang orang tersebut kepada anak saya. Hanya saja tidak pada waktunya.
Belum habis frustasinya, saya juga kaget dengan harga buku anak yang selangit! Bisa sampai jutaan rupiah. Saya shock karena sewaktu meninggalkan Indonesia dulu, saya belum dikaruniai anak. Jadi memang belum tau soal kenyataan ini. Ternyata ongkos menciptakan generasi yang mencintai buku dan ilmu sangat mahal. Sedangkan di negeri Paman Sam sana, saya sudah terbiasa membeli buku murah dan bekas namun bermutu dari thrift store. Bahkan saya sering mendapatkan buku gratis dari acara komunitas dan saat berkunjung ke klinik khusus anak.
Ternyata Reverse Culture Shock Menjadi Penyebabnya!
Setelah emosi saya diacak-acak, akhirnya saya menemukan bahwa yang saya alami ternyata sangat normal dan umum terjadi. Fenomena ini dikenal dengan istilah reverse culture shock atau gegar budaya balik.
Reverse culture shock merupakan konsep yang mirip dengan culture shock (gegar budaya) yang telah lebih dulu populer. Jika gegar budaya membuat kita merasa tidak nyaman ketika pindah ke tempat baru, maka gegar budaya balik menjadikan kita merasa asing di negara sendiri. Biasanya terjadi ketika kita kembali dari perantauan. Pas sekali kan dengan kasus saya!
Kenapa bisa asing ya? Karena ternyata tanpa disadari, kita sudah membuat kebiasaan, rutinitas dan sikap baru selama berada di tanah rantau. Akhirnya ketika kembali ke rumah, kita tidak lagi merasa familiar. Makna rumah menjadi sempit, hanya sekedar bangunan. Padahal sejatinya rumah selalu dikaitkan dengan individu di dalamnya, emosi dan perasaan familiar tersebut.
Perlu usaha lagi untuk mempelajari lingkungan baru, dan terkadang cukup melelahkan. Terutama jika kita sudah terlalu lama di negara lain, atau jika kita pindah dari dua negara yang begitu kontras perbedaannya.
Reverse Culture Shock ala Bule
Awalnya saya berpikir bahwa gegar budaya balik yang saya alami terjadi lantaran saya pindah dari negara maju nan nyaman ke negara berkembang. Tapi nyatanya, banyak juga orang asing yang merasakan gegar budaya balik ketika kembali ke negaranya setelah selesai angkat koper dari negara berkembang.
Penyebabnya lucu-lucu, sebagian merasa diperlakukan seperti artis ketika berada di Indonesia. Kemanapun mereka pergi pasti menjadi pusat perhatian, dielu-elukan, malah terkadang ada yang meminta foto bersama. Begitu kan?
Namun di kampung halamannya, mereka merasa bukan siapa-siapa lagi. Yang bertampang bule seperti mereka ada jutaan! Mereka tidak spesial hanya dengan bermodal kulit putih dan hidung mancungnya. Akhirnya self-esteem mereka menurun. Tidak percaya diri.
Ada juga yang jadi kesulitan makan. Kuliner di negaranya terasa hambar karena sudah terbiasa dengan masakan Asia yang berempah (dan bermecin) kuat. Lalu sebagian lagi bekerja keras menjaga berat badan ideal. Sejak kembali ke negaranya, mereka kembali melahap makanan olahan, bukan masakan dengan bahan-bahan segar seperti di Indonesia.
Tak ketinggalan, ada juga yang curhat merindukan jasa asisten rumah tangga (ART) yang bisa dibayar murah. Di Amerika sana, yang punya ART itu hanya horang kayah.
Sebaiknya Bagaimana?
Saat mengalami gegar budaya balik, yang paling melegakan adalah dengan mengungkapkan perasaan kita ke orang lain. Saat itu saya beruntung karena kembali ke Indonesia bersama suami. Jadi saya memiliki teman yang 100% mengerti hati saya.
Namun jika tidak bersama pasangan, kita bisa bercerita kepada teman atau keluarga yang pernah memiliki pengalaman tinggal di luar negeri. Saya sendiri memilih untuk melepaskan beban tersebut kepada Ayah saya yang pernah menetap di Amerika Serikat selama 13 tahun. Saat beliau pulang, Indonesia sudah banyak sekali berubah. Harga-harga semakin mahal (imbas dari inflasi selama lebih dari satu dekade!). Bahkan beliau tidak bisa mengenali jalan untuk menuju ke rumah orang tuanya.
Saya juga memilih untuk menghindari curhat di sosial media, atau mengeluh ke teman yang tidak terlalu mengenal kepribadian saya. Bisa jadi kita malah akan terlihat songong, sombong, manja, menyebalkan, terlalu mengagung-agungkan kultur barat, dsb. Padahal kita hanya merasakan gegar budaya balik, yang kita sendiri sulit memahaminya.
Sambil mengutuk dan berkeluh kesah kepada individu yang dapat dipercaya, jangan lupa untuk kembali belajar beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Saya pribadi suka melakukan ketiganya secara bersamaan. Belajar… mengutuk… mengeluh... lakukan secara paralel.
Pastinya melelahkan, tapi tidak lama lagi, yakinlah kita bisa kembali menyebut tempat yang tidak benar-benar baru ini sebagai “rumah”.
- Friday, May 18, 2018
- 6 Comments