Antonim Warren Buffett

Saturday, February 10, 2018



Ibu seperti Santa Claus. Bedanya, ia berbagi setiap saat, tak hanya di bulan Desember.

Agenda saya dan suami pagi ini adalah menemani ibu belanja buah tangan di Pasar Beringharjo. Kami sudah bisa meramalkan apa yang akan ia beli, untuk siapa, dan berapa banyak kuantitasnya. Sesungguhnya kejadian hari ini hanyalah repetisi peristiwa di tahun-tahun sebelumnya-setiap kali keluarga kami mudik ke Jogja.

Ibu terlihat piawai berjalan di antara lorong pasar yang sesak oleh pedagang. Hiruk pikuk khas suasana pekan tak melunturkan langkah kakinya yang cekatan. Ia sudah hafal betul setiap sudut dan persimpangan disana. Heran, padahal kesini pun hanya setahun sekali. Barang-barang yang dijajakan di pasar pun nyaris serupa. Tapi tak lantas membuat ibu merasa njelimet.

Saya dan suami yang kurang hobi belanja hanya mengikuti ibu dari belakang. Manut, seperti ada tali tak terlihat dikaitkan oleh ibu di badan kami. Ia belok, kami belok. Ia putar arah, kami ikutan berputar. Ia berhenti di kios bakpia, kami pun menghentikan langkah.

Sekotak tiga ndasa ewu, menawi campur nggih pareng” (satu kotak tiga puluh ribu, boleh campur). Seorang mbok penjual bakpia sibuk mengulang-ulang kalimatnya. Ia berusaha mempromosikan dagangannya ke ibu.

Selangkung nggih bu” (dua puluh lima ribu ya bu). Balas ibu dalam Bahasa Jawa dengan aksen Bekasi yang kental.

Yang terjadi selanjutnya adalah kegiatan tawar menawar yang biasa berlaku antara pedagang dan pembeli. Entah deal apa yang terjadi. Penjual tersebut keliatan sumringah saat memasukkan berkotak-kotak bakpia ke dalam kresek hitam.

Saya yang saat itu merasa haus memutuskan untuk melipir dulu. Di dekat pintu masuk pasar tadi terdapat jajanan es dawet yang kelihatannya sangat segar.

“Lima ribu”, kata si penjual.

Saya pun menyerahkan selembar uang rupiah bergambar Imam Bonjol.
Matur Nuwun, nggih”.

Es saya minum, dahaga lenyap. Saya pun memutuskan untuk kembali ke dalam dan menghampiri tempat penjual bakpia tadi.

Saat saya tiba, ternyata Ibu sudah rampung belanja. Bukan hanya menenteng berkotak-kotak bakpia, tapi juga sudah menggendong dua guling lanting. Kudapan khas jogja dengan tekstur keras dan berbentuk angka delapan.

Saya sebut guling karena memang lantingnya banyak sekali. Dikemas dalam plastik transparan sebesar guling orang dewasa. Bahkan lebih lebar dan gendut. Satu guling berbobot lima kilogram.

Siapa sangka, dua karung lanting ini mampu menjadikan kami pusat atensi selama melenggang keluar dari pasar menuju parkiran. Saya yang ketiban tugas menggendong salah satu plastik lanting, kerap mendapat reaksi dari mulut-mulut usil.

“Mau pindahan?” Kata seorang mas-mas.

“Wah...mau ngungsi” Celetuk mas-mas kurang kerjaan yang lainnya.

***

Ibu merupakan pegawai tulen. Kami tau makanan sebanyak ini bukan untuk dijual kembali ataupun meraup untung, tapi untuk dibagi-bagi.

“Saya suka kasih-kasih ke tetangga sama temen kantor”. Ucapnya.

Kata “suka” sebetulnya kurang relevan untuk menggambarkan kecintaan Ibu dalam berbagi. Ia “keranjingan”. Bahkan kerap resah jika hanya mampu memberi dalam kuantitas sedikit.

Dua karung lanting hanyalah sebagian kecil dari apa yang telah ia bagikan ke orang lain. Cuma ujung mungil dari gunung es.

Menjelang lebaran misalnya, Ibu akan menggunakan sebagian besar gaji ke tiga belas nya untuk memborong gamis, jilbab, baju koko dan sarung. Tidak untuk dipakai sendiri, tapi dibagikan ke jiran maupun sanak famili. Menariknya, target audience ibu sangat luas. Mulai dari janda, anak yatim, kelas menengah, hingga yang berada. Semua ketiban rejeki.

Seperti Idul Fitri tahun lalu, papa saya dikirimi baju koko, plus sepaket makanan yang baru saja Ibu terima dari kantor.

“Ini Mel, kopinya buat papah aja. Di rumah saya mah nggak ada yang ngopi. Kata ibu sembari memasukkan dua renteng kopi sachet ke dalam kardus bingkisan.

Saya paham, anggota keluarga di rumah ini memang cuma hobi menyeruput teh Jawa. Kopi adalah minuman asing. Tapi entah kenapa, Ibu turut memindahkan cemilan kesukaannya seperti aneka jenis biskuit, kerupuk dan kue tradisional ke dalam kardus tadi. Tak lupa ia mengamanahkan ke saya agar bingkisan ini diteruskan ke papa.

Saking lebih dermawan dari Sinterklas Ibu kerap di protes oleh Bapak.

“Terus aja bagi-bagi, ndak inget orang rumah”.

Bapak, yang seorang introvert tulen, ternyata bisa nampak angker juga. Rupanya Bapak kesal karena cuma disisakan secuil lanting. Hanya cukup untuk dimakan satu ronde, lalu habis. Lidahnya bahkan belum sempat kecanduan vetsin.

***

Ibu mengingatkan saya dengan sebuah tayangan dokumenter tentang salah satu manusia terkaya di dunia, Warren Buffett. Beliau dikenal sebagai philanthropist ulung. Saat berusia 75 tahun, Buffett memutuskan untuk mendonasikan 99% kekayaannya bagi kegiatan amal. Nilainya pun sangat spektakuler, mencapai 59 miliar Dollar Amerika!

Tapi tak banyak masyarakat dunia yang tau. Di balik karirnya yang cemerlang, Buffett pernah dikritik tajam oleh media Amerika Serikat karena tak menyalurkan sebagian hartanya untuk kegiatan kemanusiaan.

Semuanya terungkap di sepertiga akhir cerita, saat Istri Warren Buffett, Susan, mulai berkisah. Selama beberapa dekade, Buffet memang terlihat begitu sibuk memperbanyak harta. Layaknya seorang investor yang bersabar menunggu perubahan nilai saham, ia juga menanti saat yang tepat untuk memberikan kekayaannya. Bukankah semakin banyak pundi-pundi yang terkumpul, semakin banyak pula sumbangan yang bisa ia berikan di sisa hidupnya?

Warren Buffett menjalankan kegiatan philanthropy seperti menggerakkan kerajaan bisnis. Segala sesuatunya penuh dengan strategi, kalkulasi, pengelolaan dan timing yang tepat.

Ibu mertua saya adalah antonim dari semua ini. Ia berbagi dengan segala metode yang bertolak belakang dengan Warren Buffett. Tak ada perhitungan, tak ada strategi, tak ada target audience, tak menunggu moment. Semua spontan dan kadang tak terkendali.

“Saya demen aja gitu kalo kasih-kasih barang ke orang, seneng kalo liat barangnya kepake”. Wajah ibu yang antusias ketika mengatakan kalimat ini seketika berputar ulang di otak saya.

Ya, Ibu memang tak pandai teori. Tapi ia sangat yakin kalau berbagi mampu memberikannya kebahagiaan hakiki.

You Might Also Like

3 comments

  1. Bagus mbak tulisan nya.. semoga kesehatan dan keberkahan selalu melingkupi ibu mertua Dan keluarga yaa ❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Amin, terima kasih Mba Octy.. doa yang sama untuk Mba Dan keluarga ❤

      Delete
  2. What a great mother! Salam sama ibunya kak :1mg1cerita

    ReplyDelete

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas