- Saturday, July 28, 2018
- 1 Comments
Dulu saya dan suami berikrar, bahwa tujuan kami keluar dari hiruk pikuk Jakarta dan pindah ke pulau Lombok, adalah agar dapat menghabiskan waktu yang lebih banyak bersama keluarga.
Nyatanya, seringkali waktu yang berharga tersebut malah kami tukar dengan berselancar ke dunia masing-masing melalui layar telepon genggam. Saya asyik menyaksikan video musik K-pop yang seringkali menjadi guilty pleasure. Sedangkan suami, tenggelam dalam kekonyolan Sheldon Cooper di serial The Big Bang Theory.
***
Memasuki desa Sembalun di kaki gunung Rinjani, kami masih saja terpesona melihat deretan bukit-bukit kekar yang mengelilingi rumah warga dan area persawahan. Kata “wow” tiba-tiba meluncur begitu saja. Padahal, ini adalah kunjungan saya yang keempat, dan yang kedua bagi suami.
- Sunday, July 22, 2018
- 0 Comments
Halo, siapa di sini yang punya rencana liburan ke Lombok? Sudah tau mau menginap di mana? Kalau belum, sebagai warga Lombok yang baik, saya mau kasih sedikit informasi dan tips tentang pilih-memilih akomodasi di pulau ini. You can thank me later :)
- Friday, July 13, 2018
- 2 Comments
Siluet pulau Lombok yang nampak dari kejauhan membuat saya semangat untuk bangkit dari tempat duduk dan bergerak keluar menuju geladak kapal ferry yang kami tumpangi. Tidak peduli dengan wajah yang lusuh dan angin kencang yang mengacak-acak jilbab, saya dan si kecil tetap mengabadikan peristiwa tersebut dengan sebuah jepretan gambar. Setelah perjalanan panjang dari Jakarta, akhirnya kami sampai di rumah baru, pulau Lombok.
***
Kautsar, anak saya, sangat akrab dengan pesawat terbang. Ia sudah mencoba moda transportasi ini sejak ia masih berbentuk embrio. Ketika baru menginjak usia empat bulan, ia bahkan sudah merasakan pengalaman naik pesawat pertamanya.
Lain hal nya dengan kapal ferry. Kendaraan besar ini hanya ia jumpai di buku kesayangannya. Maka ketika dari jauh-jauh hari saya beritahu kalau nanti, kami akan naik kapal ferry untuk menyusul Ayah yang sudah tinggal lebih dahulu di pulau Lombok, ia menjadi sangat antusias.
Kebahagiannya kala itu bisa dijelaskan oleh dua hal: bertemu ayah dan merasakan #AsyiknyaNaikFerry. Ia menjadi semakin tidak sabar untuk menunggu hari keberangkatan.
Pilihan Ekonomis dan Terpercaya Lintas Pulau
Jakarta-Lombok yang membentang lebih dari 1300 km membuat keluarga besar saya pada awalnya menyarankan untuk menghindari jalur darat dan laut. Bukankah akan lebih cepat jika saya dan Kautsar pindahan naik pesawat? Sedangkan mobil dan sebagian barang-barang yang tidak bisa masuk ke bagasi, bisa dikirim menggunakan jasa ekspedisi.
Namun saya tetap mantap memilih kapal ferry. Berdasarkan kalkulasi bersama suami, ternyata biaya yang kami keluarkan hanya 10% dibandingkan dengan opsi pertama di atas. Semua perencanaan budget selama perjalanan dapat dengan mudah saya temukan di https://www.indonesiaferry.co.id yang merupakan laman resmi PT. ASDP Indonesia Ferry. Harga yang tercantum di tautan tersebut sangat akurat dan terpercaya, sesuai dengan harga yang saya keluarkan di loket pelabuhan.
Dengan biaya tersebut, saya sudah bisa membawa kendaraan pribadi roda empat, berbagai kebutuhan rumah tangga, pakaian, hingga buku-buku dan mainan Kautsar yang beratnya mencapai 50kg!
Semua bisa diangkut, tanpa limit bagasi seperti di maskapai penerbangan.
Bagasi padat, siap pindahan dari Jakarta ke Lombok! |
Ruang Kelas di Dua Selat
Tak salah rasanya saya memilih kapal ferry. Karena bagi seorang anak kecil seperti Kautsar, berlayar dengan kapal ferry adalah sebuah pertunjukkan keajaiban. Semua yang ia lihat, sentuh dan dengar ketika berlayar dari Banyuwangi ke Gilimanuk dan Padang Bai ke Lembar, terasa baru bagi panca inderanya.
Tak pelak, kapal ferry yang kami tumpangi pun berubah menjadi ruang belajar terapung yang menaungi perjalanan kami mengarungi selat Bali dan selat Lombok.
Kelas dimulai saat kapal melepaskan jangkarnya, meninggalkan pulau Jawa menuju pulau dewata. Kelas yang ringkas dan singkat. Tapi dalam empat puluh menit yang berharga itu, sukses membuat Kautsar terkagum-kagum dengan hamparan air tanpa batas yang ia lihat sepanjang cakrawala.
Ia sibuk membandingkan volume air di lautan dengan yang ada di kolam renang mungilnya. Di lain waktu, ia terheran-heran karena sadar bahwa kapal besar yang ia tumpangi sukses mengapung di atas air.
“Kapalnya ndak tenggelam”. Katanya. Bukankah secara tak langsung ia tengah belajar tentang fisika sederhana?
Saya lantas teringat dengan pengalaman naik ferry pertama saya di masa kecil. Kala itu, saya menyaksikan beberapa penumpang sibuk melemparkan koin-koin ke laut. Anak-anak lokal dengan cekatan menyelam mengambil recehan tersebut. Otak kecil saya tak habis pikir, bagaimana mungkin koin mungil itu bisa tenggelam, sedangkan kapal raksasa ini baik-baik saja mengapung di samudra?
Credit: Aksi.id |
Saat menyeberang ke pulau Lombok, ternyata Kautsar malah lebih semangat lagi. Perjalanan di laut ia habiskan untuk mendengarkan deburan ombak menghantam kapal. Matanya fokus melihat keduanya saling bertabrakan, tak henti-henti. Peristiwa tersebut kemudian menghasilkan buih-buih putih seperti sabun. Kontras dengan air laut yang berwarna biru tua.
“Kalau airnya berwarna biru tua seperti ini, artinya lautnya dalam”, kata saya memberikan fun fact tentang laut kepada Kautsar. “Kalau warnanya biru muda, berarti lautnya dangkal”.
Kautsar mendengarkan ocehan saya, namun matanya tetap memperhatikan berbagai hal yang ada di atas kapal. Mulai dari sekoci, pelampung keselamatan, hingga suara yang ditimbulkan oleh mesin kapal.
Ah, sayang Kautsar masih sekecil ini. Jika sudah lebih besar, tentu akan semakin banyak ilmu yang bisa ditemui dari atas kapal ferry. Hampir semua momen dapat orangtua manfaatkan untuk menfasilitasi anak belajar tentang semestanya.
Kita dapat mengajarkan anak tentang perbedaan selat, teluk dan tanjung yang kita jumpai selama perjalanan. Secara tak langsung anak tengah belajar istilah-istilah geografi! Atau ketika melihat deretan truk yang mengantri masuk ke dalam kapal, kita dapat sambil menjelaskan tentang rantai distribusi yang menyebabkan sebagian harga barang dan kebutuhan hidup masyarakat di luar pulau Jawa bisa lebih mahal.
Saat matahari terbenam di ufuk barat, kita bisa berdiskusi santai tentang rotasi bumi bersama si buah hati. Lalu bila kapal berlayar di malam hari, kita dapat menikmati gelapnya langit sambil mengajarkan anak ilmu astronomi dan menceritakan kepadanya tentang perbedaan rasi bintang utara dan selatan. Juga memberikan tips cara membedakan planet dan bintang dengan mata telanjang. Asyik sekali, kan?
Bridge the Nation
Jangkar diturunkan, kapal merapat. Saya dan Kautsar pun turun dari kapal dan menghirup udara pertama di pulau Lombok yang menjadi awal baru bagi kehidupan kami.
Saat kendaraan kami keluar menjauh dari kapal ferry, saya melihat tulisan “we bridge the nation” di bagian samping badan kapal. Saya pun segera mengamini setiap kata tersebut. Bagaimanapun saya telah menjadi saksi, bahwa slogan tersebut bukan sekadar jargon organisasi, namun sebuah komitmen yang senantiasa dirawat untuk menyatukan gugusan nusa di negara bahari ini.
Pada pengembaraan kali ini, kapal ferry betul-betul mampu menjadi titian perjalanan saya dan Kautsar untuk berkumpul kembali dengan suami-sekaligus ayah, yang menjadi pemimpin keluarga kecil kami.
***
Credit: PT. ASDP Indonesia Ferry |
Kautsar terlihat berat hati berpisah dengan kapalnya, namun raut wajahnya kelihatan sumringah saat saya beritahu kalau Ayahnya sudah dekat. “Sebentar lagi kita ketemu Ayah, Nak”.
Sambil duduk di kursi mobil bagian tengah, ia memandang ke kaca bagian belakang sambil berucap “bye-bye kapal ferry, nanti kita ketemu lagi ya”.
Saya tersenyum menyaksikan tingkah laku polosnya. Dan berjanji kepada Kautsar untuk mengajaknya merasakan #AsyiknyaNaikFerry kembali di kemudian hari.
***
- Sunday, June 24, 2018
- 0 Comments
Pantulan cermin di kamar mandi hotel kala itu mengagetkan saya. Dengan tampilan rambut baru yang dengan nekatnya saya pangkas sendiri hingga di atas bahu, mata sembab karena terbangun tengah malam, dan tubuh yang berbalut daster hijau bercorak bunga putih, saya pikir saat itu saya sedang melihat almarhumah mama.
Padahal orang bilang wajah saya sama sekali tidak beririsan dengannya. Entah benar entah tidak. Yang jelas saya setuju jika hidung besar saya merupakan fitur istimewa yang diwariskan dari papa. Satu bagian itu saja rasanya sudah cukup untuk membuat orang seantero jagad yakin kalau bapak yang satu itu merupakan ayah kandung saya.
Namun di tengah malam itu, untuk sepersekian detik, refleksi saya menyuguhkan gambaran lain. Saya melihat mama di diri saya.
Aegyo sal, atau tumpukan lemak di bawah mata ini, tentu tidak seperti mata papa. Ditambah dengan kantung mata yang menghitam di bawahnya, lagi-lagi tak mungkin dimiliki oleh ayah saya yang selalu terlelap di jam yang sama setiap harinya. Juga wajah yang seolah lupa dirawat ini, lebih mengingatkan saya akan wajah mama. Tak perlu lah saya menyebutkan rambut pendek dan daster yang saya kenakan kala itu. Karena hanya merupakan copy paste dari penampilan sehari-hari mama di rumah.
Sepersekian detik refleksi itu, cukup untuk membuat saya merenungi kembali peristiwa-peristiwa yang lalu. Ketika saya baru kembali merantau dari tanah Melayu misalnya, terbesit pertanyaan yang mengganjal di hati saya. Mengapa mama menua begitu cepat? Garis kerutnya, kulitnya yang mulai menurun, kesehatannya yang berada di titik nadir. Hati saya bergejolak. Mungkin hampir setiap anak pernah merenungi hal ini. Tapi menjadi menyesakkan saat saya menyadari bahwa di sisi lain, papa terlihat immortal, wajahnya begitu-begitu saja. Jikalau pun terlihat sedikit menua, ia menua dengan elegan.
Kenapa waktu seakan mempermainkan kecantikan mama?
***
Saya ingat betul segala cekcok dan perang fisik maupun batin yang terjadi antara saya dan mama, atau antara adik saya yang nomor dua dengan mama, atau si bungsu dengan mama. Karakter beliau sungguh unik, seakan bisa menyulut api amarah siapapun yang berbicara dengannya.
Di mata mama, saya adalah anak nakal, buruk perangainya, dan suka melawan.
Kalau saya pulang malam karena aktif di organisasi, saya malah dicecar penuh curiga, dikirinya saya habis berkumpul bersama remaja tidak benar. Jika saya ingin menjalani hobi naik gunung, maka ia tidak akan meridhoi dan meyakinkan kalau saya bisa mati di sana.
Tentu saya protes dengan doa buruk tersebut, tapi lalu saya dianggap pembangkang. Padahal nakalnya saya kala SMA hanya sebatas menulis contekan di kertas kecil. Berbeda dengan mama yang sering membakar uang dengan menghembuskan asap tembakau sejak bangku sekolah.
Hanya ada satu waktu dimana tiba-tiba saya menjadi anak baik yang disanjung, dipuja setinggi langit, melebihi kapasitas saya. Yaitu ketika mama berbincang dengan orang tua lain. Ia tidak mau kalah.
***
Tangis Kautsar, anak saya, pecah di tengah malam, memanggil-manggil nama saya. Lamunan saya pun terbelah. Saya bergegas kembali ke kamar untuk menenangkannya. Tidur di hotel tak lantas membuat saya menikmati 100% suasana liburan. Kegiatan parenting dan pengasuhan tetap harus terlaksana, hanya lokasinya saja yang berbeda.
Sejak dua setengah tahun lalu, tidak ada tidur nyenyak bagi saya. Tak ada suasana makan dengan tenang. Selalu ada kerusuhan kecil yang kadang lucu, kadang juga mengesalkan di meja makan. Dan setiap hari ada saja nasi dan lauk yang berserakan. Saya lelah, tapi tak lantas membuat saya pantas merasa telah berkorban, karena si kecil tak pernah merengek meminta kehidupan.
Dua setengah tahun ini, bisa jadi merupakan refleksi kejadian lampau, lebih dari 20 tahun silam, saat saya masih belia. Saya yakin, pasti saya juga pernah menangis atau mengigau tengah malam, lalu menyebut nama mama untuk sekadar mencari kehangatan dan perlindungan. Pasti saya pernah mengacaukan hatinya dan harinya, membuatnya kelelahan karena merawat saya hingga akhirnya tak sempat merawat kecantikannya sendiri, juga membuatnya merasa kehilangan dirinya yang sejati.
Menjadi ibu dari Kautsar, membangkitkan syukur sekaligus penyesalan di jiwa saya. Bersyukur karena akhirnya, dengan cara ini, saya bisa merasakan seberapa besar cinta mama kepada saya. Cinta yang juga saya rasakan kepada Kautsar.
Dan menyesal karena saya tidak mengetahuinya lebih awal. Mengapa otak belia saya tidak bisa merekam kasih sayangnya dalam memori jangka panjang? Mengapa saya tidak bisa memutar balik peristiwa bahagia saat ia merayakan keberhasilan saya belajar berjalan? Tidak bisa pula mengingat kata-kata pertama yang ia ajarkan, serta perlakuan mulia yang ia tanamkan?
Sedangkan otak remaja saya, bisa mengingat dengan detail segala cela dan kekurangnya? Serta seluruh perkataan menyakitkannya?
***
Sepersekian detik refleksi itu, cukup untuk membuat saya mundur kebelakang. Namun kini saya bisa melihat dengan lebih jelas betapa pentingnya mama dalam kehidupan dan dalam membentuk pribadi saya. Tanpa disadari, mungkin saja kebaikan dan nilai-nilai luhur yang orang lain lihat ada pada diri saya, merupakan pantulan cahaya kebaikan mama.
***
Sambil mengelus-elus punggung Kautsar agar kembali tertidur, saya membisikkan berbagai doa kepada yang Maha Mendengar untuk mama. Semoga ia selalu berbagia di sana.
- Sunday, June 03, 2018
- 1 Comments
Bayangan akan nikmatnya kuliner Indonesia sudah di ujung lidah. Terbayang juga senyum bahagia orang tua kami yang akhirnya bisa memeluk Kautsar, cucu pertama dari pihak saya dan suami yang belum pernah mereka temui sejak lahir.
Tapi ternyata kembali ke tanah air tidak seindah imajinasi. Tiba-tiba saya malah merasa asing dengan lingkungan tempat saya dibesarkan. Semuanya membuat saya tidak nyaman. Lalu ketidaknyamanan tersebut saya respon dengan keluhan dan kutukan tiada akhir.
***
Perasaan asing tersebut pada awalnya tidak bisa saya pahami. Saya terkejut karena ternyata sulit sekali beradaptasi kembali dengan kondisi di Indonesia, lebih tepatnya, dengan kota Jakarta yang semrawut ini. Saya kesal dengan udara panas, jengkel dengan kemacetan, marah dengan orang yang merokok sembarangan, dan malas berbasa-basi dengan oknum yang suka berkomentar nyinyir. Sampai sekarang bahkan hati saya masih mau meledak jika melihat orang membuang sampah seenaknya.
Padahal, hal-hal tersebut tentu sudah saya antisipasi sebelum kembali ke ibu kota. Toh dulu saya mampu menelan semua kekacauan ini dengan pasrah.
Tapi kini kenyataan tersebut menjadi sangat susah diterima. Diperparah lagi, saya harus kembali menemukan ritme dan rutinitas dalam mengasuh anak.
Misalnya begini, sejak di Amerika, saya jadi sangat memperhatikan etika ketika sakit. Pasti saya akan menutup hidung dan mulut ketika bersin atau batuk, kerap mencuci tangan dengan sabun di bawah air mengalir, dan menghindari kontak fisik langsung dengan orang lain, terutama anak kecil. Saya tidak ingin menjadi agen penyebar virus.
Maka saat kembali ke Indonesia, saya mengharapkan etika yang sama dari orang lain. Saya tidak ingin anak saya dicium dan diajak bersalaman oleh orang yang sedang sakit. Tapi tentu saya akan dianggap tidak sopan (dan lebay) jika melarang orang tersebut untuk mendekati si kecil. Terutama jika mereka merupakan saudara yang lebih tua. Apalagi di sisi lain, saya tau kalau mencium merupakan ungkapan kasih sayang orang tersebut kepada anak saya. Hanya saja tidak pada waktunya.
Belum habis frustasinya, saya juga kaget dengan harga buku anak yang selangit! Bisa sampai jutaan rupiah. Saya shock karena sewaktu meninggalkan Indonesia dulu, saya belum dikaruniai anak. Jadi memang belum tau soal kenyataan ini. Ternyata ongkos menciptakan generasi yang mencintai buku dan ilmu sangat mahal. Sedangkan di negeri Paman Sam sana, saya sudah terbiasa membeli buku murah dan bekas namun bermutu dari thrift store. Bahkan saya sering mendapatkan buku gratis dari acara komunitas dan saat berkunjung ke klinik khusus anak.
Ternyata Reverse Culture Shock Menjadi Penyebabnya!
Setelah emosi saya diacak-acak, akhirnya saya menemukan bahwa yang saya alami ternyata sangat normal dan umum terjadi. Fenomena ini dikenal dengan istilah reverse culture shock atau gegar budaya balik.
Reverse culture shock merupakan konsep yang mirip dengan culture shock (gegar budaya) yang telah lebih dulu populer. Jika gegar budaya membuat kita merasa tidak nyaman ketika pindah ke tempat baru, maka gegar budaya balik menjadikan kita merasa asing di negara sendiri. Biasanya terjadi ketika kita kembali dari perantauan. Pas sekali kan dengan kasus saya!
Kenapa bisa asing ya? Karena ternyata tanpa disadari, kita sudah membuat kebiasaan, rutinitas dan sikap baru selama berada di tanah rantau. Akhirnya ketika kembali ke rumah, kita tidak lagi merasa familiar. Makna rumah menjadi sempit, hanya sekedar bangunan. Padahal sejatinya rumah selalu dikaitkan dengan individu di dalamnya, emosi dan perasaan familiar tersebut.
Perlu usaha lagi untuk mempelajari lingkungan baru, dan terkadang cukup melelahkan. Terutama jika kita sudah terlalu lama di negara lain, atau jika kita pindah dari dua negara yang begitu kontras perbedaannya.
Reverse Culture Shock ala Bule
Awalnya saya berpikir bahwa gegar budaya balik yang saya alami terjadi lantaran saya pindah dari negara maju nan nyaman ke negara berkembang. Tapi nyatanya, banyak juga orang asing yang merasakan gegar budaya balik ketika kembali ke negaranya setelah selesai angkat koper dari negara berkembang.
Penyebabnya lucu-lucu, sebagian merasa diperlakukan seperti artis ketika berada di Indonesia. Kemanapun mereka pergi pasti menjadi pusat perhatian, dielu-elukan, malah terkadang ada yang meminta foto bersama. Begitu kan?
Namun di kampung halamannya, mereka merasa bukan siapa-siapa lagi. Yang bertampang bule seperti mereka ada jutaan! Mereka tidak spesial hanya dengan bermodal kulit putih dan hidung mancungnya. Akhirnya self-esteem mereka menurun. Tidak percaya diri.
Ada juga yang jadi kesulitan makan. Kuliner di negaranya terasa hambar karena sudah terbiasa dengan masakan Asia yang berempah (dan bermecin) kuat. Lalu sebagian lagi bekerja keras menjaga berat badan ideal. Sejak kembali ke negaranya, mereka kembali melahap makanan olahan, bukan masakan dengan bahan-bahan segar seperti di Indonesia.
Tak ketinggalan, ada juga yang curhat merindukan jasa asisten rumah tangga (ART) yang bisa dibayar murah. Di Amerika sana, yang punya ART itu hanya horang kayah.
Sebaiknya Bagaimana?
Saat mengalami gegar budaya balik, yang paling melegakan adalah dengan mengungkapkan perasaan kita ke orang lain. Saat itu saya beruntung karena kembali ke Indonesia bersama suami. Jadi saya memiliki teman yang 100% mengerti hati saya.
Namun jika tidak bersama pasangan, kita bisa bercerita kepada teman atau keluarga yang pernah memiliki pengalaman tinggal di luar negeri. Saya sendiri memilih untuk melepaskan beban tersebut kepada Ayah saya yang pernah menetap di Amerika Serikat selama 13 tahun. Saat beliau pulang, Indonesia sudah banyak sekali berubah. Harga-harga semakin mahal (imbas dari inflasi selama lebih dari satu dekade!). Bahkan beliau tidak bisa mengenali jalan untuk menuju ke rumah orang tuanya.
Saya juga memilih untuk menghindari curhat di sosial media, atau mengeluh ke teman yang tidak terlalu mengenal kepribadian saya. Bisa jadi kita malah akan terlihat songong, sombong, manja, menyebalkan, terlalu mengagung-agungkan kultur barat, dsb. Padahal kita hanya merasakan gegar budaya balik, yang kita sendiri sulit memahaminya.
Sambil mengutuk dan berkeluh kesah kepada individu yang dapat dipercaya, jangan lupa untuk kembali belajar beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Saya pribadi suka melakukan ketiganya secara bersamaan. Belajar… mengutuk… mengeluh... lakukan secara paralel.
Pastinya melelahkan, tapi tidak lama lagi, yakinlah kita bisa kembali menyebut tempat yang tidak benar-benar baru ini sebagai “rumah”.
- Friday, May 18, 2018
- 6 Comments
Sebagian orang tergoda oleh Gili Trawangan karena pesonanya sebagai party island. Tapi bagi saya dan suami, reputasi ini justru membuat kami selalu menunda-nunda kunjungan ke sana.
- Sunday, April 22, 2018
- 4 Comments
Siapa sangka, masalah sampah yang terlihat begitu njelimet, ternyata bisa dieliminasi dengan salah satu cara yang mudah, murah, tradisional, dan rendah teknologi. Siapapun bisa membuatnya, termasuk anak balita saya yang belum sempurna koordinasi motorik kasar dan halusnya.
- Friday, April 06, 2018
- 6 Comments
Sumber: Google |
Perumahan syariah tengah marak di Indonesia. Pengembang menawarkan beragam keuntungan, diantaranya bebas BI checking dan riba. Tapi apakah pelaksanaannya seindah konsepnya?
- Saturday, March 31, 2018
- 16 Comments
Halo...Minggu lalu saya sudah menulis tentang tips nge-blog 100% dari handphone tanpa ribet. Sudah pada baca belum? :D
Nah, tema tulisan minggu ini masih seputar the power of kepepet. Yaitu...membuat header blog tanpa menggunakan software design seperti Photoshop dan illustrator sama sekali!
- Saturday, March 24, 2018
- 3 Comments
Halo...ada yang ngeh nggak, kalau sebagian besar tulisan saya di blog ini, cuma diketik dari handphone?
Kalau mau tau contoh hasil akhirnya, beberapa diantaranya bisa dilihat di sini:
Saat ini laptop pribadi saya memang sudah uzur. Performanya lambat banget walaupun cuma dipakai untuk sekadar blogging.
Karena nggak punya laptop yang mumpuni, dulu saya jadi merasa punya beribu alasan untuk tidak menulis. Alhasil, blog saya terbengkalai. Kemampuan menulis saya pun jalan ditempat.
Tapi sejak menemukan tips and tricks menulis blog dari hp, sekarang saya jadi lebih produktif dalam menulis.
Bagaimana sih caranya?
1. Menulis dari Google Docs
Berhubung saya nge-blog melalui platform Blogger, maka saya punya dua opsi untuk menulis konten. Pertama, melalui website blogger.com, kedua melalui aplikasi blogger untuk Android.
Bagi saya, menulis dari kedua platform ini adalah bencana. Penyebabnya, dashboard situs Blogger sangat kecil jika dilihat dari layar hp, sehingga tidak nyaman untuk mata dan jempol. Sedangkan aplikasi Blogger nyaris tidak berguna karena fungsi text formating nya sangat minim. Untuk mengedit hal sederhana seperti memberi underline (garis bawah pada tulisan) saja tidak bisa.
Tampilan website blogger.com dari layar handphone. Menu jadi terlihat sangat kecil. |
Tampilan pada aplikasi Blogger. Fungsi text formating sangat minim |
Karena alasan ini, saya jadi mengandalkan Aplikasi Google Docs untuk menulis konten blog. Hampir semua proses saya lakukan di sini. Mulai dari mengetik tulisan, mengganti format teks, membuat hyperlink, hingga menyisipkan dan mengatur tata letak foto.
Setelah draft selesai, saya tinggal meng-copy seluruh tulisan dan foto, lalu di paste ke blogger.com. Selanjutnya klik published, selesai deh. Semua pengaturan teks dan tata letak tidak akan berubah loh. Mudah kan?
Kenapa harus paste ke website blogger, bukan ke aplikasi blogger nya saja? Saya tidak menyarankan ke sana karena nanti semua format yang kita buat akan hilang. Misalnya, kita telah memberi warna biru dengan ukuran huruf 14 pada suatu kata. Begitu di copy-paste ke aplikasi blogger, warna nya berubah menjadi hitam lagi. Ukuran huruf pun kembali ke pengaturan semula. Sungguh tidak bisa diandalkan aplikasi dari Blogger ini :|
Selain itu, saya juga kapok menulis dari aplikasi blogger karena postingan saya sering gagal published cuma gara-gara melampirkan foto.
Lain hal nya dengan Google Docs. Tampilan boleh minimalis, tapi fungsinya powerful. Menu text formating nya lengkap banget. Mirip dengan fungsi di Microsoft Word. Saya bisa ganti font, warna dan ukuran tulisan sesuai keinginan.
Beberapa menu text formating di Google Docs, jauh lebih lengkap. |
Bisa langsung mengatur warna teks |
Dan yang paling saya suka, kita tetap bisa menggunakan apps ini meskipun dalam keadaan offline ataupun airplane mode. Produktif banget kan. Bisa menulis kapanpun, dimanapun. Termasuk ketika sedang dalam penerbangan.
Mengetik disini juga nggak bikin sakit mata karena tampilan aplikasinya pas di layar.
Menu offline memungkinkan kita menulis di aplikasi tanpa kuota internet. |
2. Mengedit Foto/Gambar dari Snapseed & PicsArt
Untuk mendukung tulisan, tentu kita perlu foto. Masalahnya nggak semua gambar yang saya ambil itu hasilnya bagus. Apalagi sebagian besar hanya dijepret menggunakan kamera poket sederhana.
Dulu saya sering meminjam laptop suami cuma untuk mengedit foto menggunakan Photoshop. Lama kelamaan, rasanya ribet juga harus mengantri laptop dulu. Tapi sekarang mengedit foto-foto ini cukup di handphone saja, menggunakan aplikasi Snapseed dan PicsArt.
Snapseed ini aplikasi gratis, tapi fungsinya banyak. Mulai dari sekedar mengedit kecerahan dan kontras pada gambar (brightness and contrast), maupun fungsi yang lebih canggih. Misalnya menghapus objek yang tidak diinginkan.
Sebelum diedit menggunakan Snapseed. Foto lebih gelap. Wajah anak saya tidak terlihat. |
Sesudah diedit dengan Snapseed. |
Sayangnya, Snapseed ini tidak bisa menggabungkan beberapa foto jadi satu. Sehingga pekerjaan yang satu ini, saya serahkan ke PicsArt. Selain untuk menggabungkan gambar, PicsArt juga punya segudang fitur lain. Seperti membuat kolase dan scrapbook digital. Kalau ingin tau lebih lanjut, main-main deh ke YouTube. Di sana ada banyak banget tutorialnya.
3. Menambah Tulisan dan Membuat Judul Blog dengan Phonto
Biarpun Snapseed dan PicsArt juga bisa menambah tulisan pada foto, tapi Phonto tetap jadi aplikasi favorit saya untuk urusan yang satu ini. Pilihan font nya jauh lebih banyak, bahkan kita bisa meng-install font baru. Kita juga bisa menambahkan clip-art menggunakan emoji yang sudah ada di handphone.
Btw, seluruh tulisan yang terdapat pada foto di postingan kali ini, saya buat dengan menggunakan Phonto juga loh.
Contoh judul blog yang dibuat dengan Phonto |
4. Mengedit Konten dengan Aplikasi Blogger
Tadi saya kekeuh mengatakan kalau saya tidak suka dengan aplikasi Blogger ini. Tapi toh masih saya pertahankan juga keberadaannya di hp. Fungsinya cuma dua, mengedit kesalahan dalam pengetikan setelah tulisan di published dan untuk menambahkan label pada blog.
Tapi kalo yang diedit lebih dari sekedar teks (misal, mau edit foto), maka saya langsung masuk ke dashboard Blogger.
***
Gimana, buat kalian yang ingin blogging tapi nggak punya laptop, ternyata masih ada solusinya kan? Buat saya kekurangan nge-blog dengan cara ini cuma satu: bikin jempol pegel! Tapi lama-lama saya terbiasa juga. Yang penting tau batasan. Kalau sudah terasa tidak nyaman, sebaiknya berhenti dulu biarpun jempol ini masih asyik menuangkan ide yang ada di kepala :)
Happy blogging!
- Friday, March 16, 2018
- 13 Comments