Budaya Baduy Sebagai Tuntunan, Bukan Tontonan

Sunday, May 15, 2022

 

Masyarakat adat, baik di Indonesia maupun dunia, seringkali menjadi sasaran berbagai kebijakan para penguasa. Dalam banyak kasus, wilayah mereka seringkali dijadikan tambang, dibuat bendungan, dan dialihfungsikan sebagai area eksplorasi minyak. Alamnya yang masih terjaga dan budayanya yang unik, juga merupakan destinasi sempurna bagi industri pariwisata.

Urang Kanekes, atau yang biasa dikenal sebagai orang Baduy, adalah salah satu masyarakat adat yang terkena imbas buruk kebijakan tersebut. Arus wisatawan yang masif, telah mengusik kehidupan mereka sehari-hari. Ribuan pasang mata dan jepretan kamera yang tak terhitung jumlahnya, ternyata membuat masyarakat Baduy tidak nyaman saat sedang berada di lingkungan adatnya sendiri. Mereka merasa dijadikan tontonan oleh para pelancong yang sejatinya hanya tamu.

“Asa tontonan wae, nya asa na mah kos binatang (Seperti tontonan saja, rasanya ya seperti binatang)”. Ujar salah satu warga dari kampung Gajeboh, Baduy Luar.


Kritik Terhadap Wisata ke Kampung Adat

Pada tahun 1800-an, dunia barat mengenal istilah “human zoo” atau "kebun binatang manusia". Pada masa itu, para negara koloni seperti Prancis, kerap membuat pameran yang tidak hanya menyuguhkan koleksi artifak dan barang langka, tetapi juga “koleksi” manusia-manusia “eksotis" untuk tontonan masyarakat kulit putih.

Amerika Serikat pun pernah memiliki produk serupa. Salah satu pertunjukkan yang terkenal yaitu “The Igorot Village”. Kelompok etnis Filipina, Igorot, dipertontonkan sebagai contoh peradaban yang lebih rendah. Saat itu, kelompok etnis yang masih memakai pakaian sejenis koteka dan memakan anjing ini, berhasil menggemparkan khalayak Amerika.

Layaknya sirkus, pameran-pameran seperti ini laris manis di masanya. Masyarakat lampau pun ternyata penasaran dengan rupa dan cara hidup orang asing yang selama ini hanya mereka dengar dari mulut ke mulut. Apalagi, saat itu belum ada sarana hiburan lain seperti televisi. 

Di zaman sekarang, praktik-praktik yang merendahkan masyarakat adat tersebut memang sudah dihapuskan. Amerika dan Prancis bahkan mengakui kalau sejarah tersebut tidak hanya kelam, tapi juga memalukan. 

Walau secara teori sudah tidak ada,  beberapa media mengkritik kalau kunjungan para wisatawan ke desa-desa adat yang terjadi di zaman modern ini, sebetulnya merupakan bentuk baru dari kebun binatang manusia.

Sekilas, pendapat ini memang terkesan ekstrem. Namun layak untuk direnungkan. Apalagi jika selama ini tidak terjalin interaksi yang bermakna antara wisatawan dengan warga setempat. Apabila kunjungan turis hanya sekedar melihat-lihat dan berfoto di “habitat” asli masyarakat adat, bukankah ini mirip dengan konsep bersafari di sabana Afrika? Wajar jika masyarakat Baduy akhirnya terluka.


Baduy Bukan Tontonan

Pariwisata massal memang kerap membawa masalah bagi masyarakat di berbagai destinasi tujuan. Di kota Barcelona misalnya, kebencian warga terhadap turis kian tumbuh. Wisatawan dianggap telah mencuri identitas kota, dan membuat Barcelona terasa seperti theme park atau taman bermain. Di satu sisi kota ini bahkan terpampang tulisan “Tourist, go home (turis, pulang ke rumahmu)”.

Beruntungnya kita, masyarakat Baduy memiliki karakteristik yang berbeda dari warga kota di negeri matador tersebut. Walau pun kehidupan sosial, budaya dan lingkungan Baduy terdampak oleh kunjungan wisatawan, pantang bagi mereka untuk menolak, apalagi mengusir pendatang.

Namun beberapa waktu lalu, publik memang sempat dihebohkan oleh kabar kalau masyarakat Baduy meminta wilayahnya dihapuskan dari daftar destinasi wisata. Sejumlah media nasional bahkan menayangkan berita ini, seolah polemik tersebut benar adanya. Padahal, konteks pemberitaan tersebut kurang tepat. 

Yang sebenarnya terjadi, masyarakat Baduy ingin agar peraturan desa nomor 1 tahun 2007 tentang Saba Budaya dan Perlindungan Masyarakat Adat Tatar Kanekes (Baduy), ditegakkan dan disosialisasikan ke masyarakat. Walau ketetapan ini sudah ada lebih dari satu dekade yang lalu, nyatanya belum banyak pengunjung yang tahu.

Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa masyarakat Baduy ingin agar istilah “wisata” ke Baduy diganti menjadi “saba budaya” atau silaturahmi budaya. Bagi mereka, kedua kosakata ini memiliki makna berbeda.

Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata “wisata” memang tidak memiliki konotasi merendahkan. Namun kenyataannya, daerah tujuan wisata seringkali dijadikan “objek”. Ada power imbalance atau ketimpangan kekuatan di sana. Pengunjung seolah memiliki kuasa lebih atas objek tersebut, dan bebas melakukan apapun.  Termasuk memotret wilayah Baduy Dalam dan mengunggahnya ke sosial media, merekam kehidupan sehari-hari warganya tanpa izin, serta mengotori wilayah adat. 

Pada destinasi wisata alam saja, hal ini bisa menjadi problematik, lalu semakin dilematis jika disandingkan dengan manusia. Sebab masyarakat Baduy merupakan komunitas sosial yang berbudaya, memiliki peradaban, dan pikukuh atau aturan hidup yang jelas. Mereka bukan objek tak bergerak. Bukan pula makhluk eksotis atau barang langka yang layak dijadikan tontonan. 

Sebaliknya, “saba” atau silaturahmi, menyimpan makna kesetaraan. Tuan rumah maupun tamu, adalah dua pihak yang sederajat. Mereka dapat saling berinteraksi, saling menghormati, dan saling menjaga. Tamu akan terikat oleh peraturan tuan rumah, sehingga sudah selayaknya bersikap dengan penuh sopan santun dan menjaga tata krama.

Konsep ini sangat baik untuk dijalankan. Kekhawatiran bahwa kunjungan ke desa adat adalah bentuk lain dari eksploitasi manusia, bisa dihilangkan. Pada akhirnya, saba budaya dapat menjadi ajang interaksi yang positif dan saling memanusiakan.


Baduy Sebagai Tuntunan 

Di balik keunikan lahiriahnya, sebenarnya ada banyak aspek dalam kehidupan masyarakat Baduy yang dapat dijadikan tuntunan. Terutama di era perubahan iklim seperti sekarang. 

Dalam buku yang berjudul The Day When the World Stops Shopping, karya J. B. MacKinnon, disebutkan bahwa konsumerisme adalah cikal bakal dari segala kehancuran lingkungan. Manusia kerap berbelanja tanpa ada rasa puas. Padahal, untuk memenuhi nafsu tersebut, alam harus dikorbankan sebagai sumber bahan baku produksi. Penggundulan hutan, pemanasan global, berkurangnya kualitas air, dan rentetan bencana alam pun, harus kita rasakan sebagai konsekuensi. 

Yang jarang diketahui oleh umum, masyarakat Baduy sebetulnya telah lama menyimpan solusi. Yaitu kurangi saja konsumsi, dijamin, alam akan lestari. Selama ini, mereka telah menjadi minimalis sejati. Hanya mengambil sesuatu dari alam seperlunya, demi memenuhi kebutuhan dasar, yakni sandang, pangan, dan papan. Bagi mereka, alam bukan untuk dieksploitasi, tetapi harus dijaga demi kesejahteraan manusia saat ini dan generasi yang akan datang. Keyakinan ini, sama persis seperti konsep environmental sustainability atau keberlanjutan lingkungan yang baru dikenal dunia luar pada tahun 1980-an. 

Walaupun kehidupan mereka sederhana, masyarakat Baduy tidak tergoda untuk memperkaya diri sendiri, apalagi jika harus membabat hutan titipan yang telah diamanahkan oleh para leluhur. Mereka patuh terhadap larangan adat yang berbunyi gunung teu meunang dilebur, lebak teu meunang diruksak (gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak). Padahal di sebagian wilayah adat mereka, terdapat kekayaan alam berupa emas. Ancaman penambangan emas ilegal, malah datang dari pihak luar yang tamak.

Patuhnya suku Baduy dalam menjaga alam ini, tak lepas dari keberhasilan pendidikan rumah, dan partisipasi seluruh masyarakat adat. Sejak kecil, anak-anak Baduy sudah belajar mengenai konservasi lingkungan, pemanfaatan jenis-jenis hutan, keanekaragaman hayati, dan cara bercocok tanam. Bukan cuma dengan metode lisan, tetapi mereka juga melakukan praktek langsung di alam. Sehingga jangan heran, jika spektrum pengetahuan mereka sangat luas, meskipun tidak pernah mengenyam bangku sekolah formal. 

Pendidikan seperti ini, sangat mahal. Baik dari segi harga, maupun nilai ilmu yang ditawarkan. Di kota-kota besar, pendidikan sejenis hanya dapat dijangkau oleh warga kelas menengah ke atas. Biasanya melalui sekolah alam yang biaya pendaftarannya saja, jauh melebihi upah minimum regional. 

Oleh Sebab itu, sungguh rugi jika kita meremehkan masyarakat Baduy. Sungguh sia-sia jika kita bertandang ke sana, namun hanya menonton, dan pulang tanpa membawa ilmu apapun. Kearifan budaya Baduy, sejatinya memiliki nilai-nilai universal, yang dapat menjadi teladan bagi kita semua. Seperti kejujuran dalam memegang amanah, hidup sederhana, tidak serakah, dan bertanggung jawab terhadap lingkungan.

Jepretan kamera dan pandangan mata hanya bisa melihat hal-hal yang bersifat lahiriah. Sedangkan nilai-nilai luhur hanya dapat dilihat melalui interaksi dan saba budaya. Maka, jika ingin ke sana, bawalah tata krama, sopan santun, dan taati aturan-aturan adat yang ada. Siapa tahu kita bisa menjalin persahabatan, dan dapat menjadi tamu yang dirindukan lagi kehadirannya oleh tuan rumah.



You Might Also Like

0 comments

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas