Jaga Semesta: Utamakan Kolaborasi, Pulihkan Air Bagi Negeri
Friday, November 14, 2025![]() |
| Foto: www.filterairlaut.co.id |
“Ketika kita lahir, kita dimandikan dengan air. Sampai akhir hayat pun, tubuh kita kembali disucikan dengan air,” ujar Reza, seorang pemuda asal Boyolali, Jawa Tengah.
Meski usianya masih muda, ia sudah memahami betul bahwa perjalanan hidup manusia—mulai dari janin hingga menjadi jasad—tak akan pernah lepas dari air.
Kesadaran itu pula yang menumbuhkan kegelisahan sekaligus rasa penasaran ketika mata air Kali Winong di desanya perlahan mengering, berganti menjadi endapan lumpur yang semakin menebal dari hari ke hari.
Namun, kini mata air yang terletak di antara dua desa itu kembali mengalir. Warga pun bersyukur karena sumber kehidupan mereka dapat dimanfaatkan lagi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Meski sebagian besar warga sudah menggunakan air pipa PDAM, keberadaan mata air memberikan ketenangan karena bisa dijadikan penopang pada situasi darurat—seperti saat aliran air di rumahnya terputus—serta menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang. Reza pun senang karena air itu dapat bermanfaat, bukan cuma untuk manusia, tetapi juga bagi seluruh makhluk dan ekosistem di sekitarnya.
Reza mengenang keberhasilan itu sebagai buah dari dedikasi dan kerja sama seluruh warga, bersama gerakan Jaga Semesta yang berkomitmen memulihkan mata air di Pulau Jawa.
Dari Mata Air ke Mata Air
Sumber mata air Kali Winong di Boyolali bukanlah satu-satunya mata air yang mendapat perhatian restorasi dari Jaga Semesta. Gerakan yang didirikan pada tahun 2023 oleh Fainta Negoro dan Melissa Mina ini sudah berhasil memulihkan tiga puluh mata air yang tersebar di berbagai daerah. Jumlah ini jauh melampaui target mereka sendiri, yakni satu mata air setiap tahunnya.
Di antara kabar baik tersebut, ada Sumber Ngadiloyo yang berlokasi di Kediri, Jawa Timur. Mata air yang sempat mati suri selama tiga tahun itu kini sudah kembali memancar. Anak-anak bisa berenang bebas. Ribuan petani pun kembali tersenyum karena sawah mereka terairi.
![]() |
| Gambar oleh Sasin Tipchai dari Pixabay |
Selain upaya pemulihan, tim Jaga Semesta juga melakukan pengamatan terhadap lima ratus mata air di Pulau Jawa. Hasilnya cukup mencengangkan: lebih dari 60% mata air tersebut telah dialihfungsikan menjadi kolam renang untuk kepentingan pariwisata. Ironisnya, kolam-kolam itu kini banyak yang terbengkalai dan terlupakan, meninggalkan mata air yang mati tanpa perawatan.
![]() |
| Salah satu kondisi mata air yang dialihfungsikan menjadi kolam renang. Foto: Dokumentasi Jaga Semesta |
Di sisi lain, penurunan debit air juga sangat jamak. Di Pasuruan, misalnya, debit yang dulu mencapai 6.000 liter per detik kini hanya tersisa sekitar 2.500 liter per detik. Penyebabnya beragam. Mulai dari alih fungsi hutan untuk hortikultura hingga maraknya penggunaan sumur artesis di sekitar kawasan tersebut.
Pengambilan air tanah dalam secara masif seperti ini membuat tekanan alami di bawah permukaan berkurang. Akibatnya, mata air menjadi kehilangan tenaga untuk mendorong air keluar melalui celah-celah batuan di sekitarnya.
Masalah tersebut diperparah oleh minimnya proses pengisian ulang air tanah, atau dalam ilmu hidrologi (ilmu tentang air) dikenal dengan istilah recharge. Dulu, recharge terjadi secara alami saat air hujan menyerap ke dalam tanah. Sayangnya, siklus ini terganggu karena area resapan telah berubah menjadi beton dan aspal.
Mata Air Mati, Krisis Air Menghantui
Apa yang ditemukan Jaga Semesta di lapangan sesungguhnya merupakan miniatur dari ancaman besar: krisis air yang diprediksi melanda Pulau Jawa pada tahun 2040 mendatang.
Sayangnya, kepedulian sebagian masyarakat terhadap air sering kali muncul terlambat, baru tiba saat keran air sudah tidak menyala di pagi hari, dan hamparan sawah mulai mengeras dan retak.
Padahal, kelangkaan air tak hanya berdampak pada lingkungan, tetapi juga pada kesehatan dan ketahanan pangan. Semua kehidupan, baik di kota maupun di desa, dipastikan akan terkena imbas.
Tanpa akses ke air bersih, tugas seorang ibu untuk menjaga keluarganya akan semakin berat. Bayangkan jika kondisi seperti COVID di tahun 2020 terulang, tetapi air bersih tidak tersedia. Penularan wabah akan semakin cepat karena masyarakat tidak bisa mencuci tangan sebagaimana imbauan badan kesehatan dunia. Belum lagi dengan penyakit-penyakit menular lain yang bisa ditemukan sepanjang tahun seperti disentri dan demam tifoid (tifus).
Sementara itu, para petani yang menggunakan sekitar 70% pasokan air di Indonesia juga terancam nasibnya. Jika mereka gagal panen, harga pangan juga akan melonjak. Pada awal tahun 2024 lalu saja, harga beras sudah naik sebanyak 16% karena kekeringan yang melanda tahun sebelumnya.
Lebih jauh lagi, krisis air juga bisa memantik konflik sosial. Di Yogyakarta, misalnya, gesekan antara warga dan industri pariwisata sudah terjadi. Sebagian sumur-sumur rumah tangga dikabarkan mengering, bersaing dengan hotel-hotel yang juga membutuhkan air untuk keperluan operasionalnya.
Skenario-skenario seperti inilah yang ingin dicegah oleh Jaga Semesta. Gerakan ini tidak sekadar berupaya memulihkan sumber air yang rusak, tetapi juga bercita-cita agar akses air bisa adil dan merata. Sebab bila air sulit didapat, masyarakat yang rentan akan semakin terdampak. Kaum perempuan, anak-anak, dan mereka yang berekonomi lemah berada di garda depan yang harus kita selamatkan.
Pada akhirnya, Jaga Semesta percaya bahwa krisis air bukan sekadar persoalan lingkungan, melainkan juga masalah keadilan sosial yang harus dipulihkan.
Memulihkan Mata Air = Membangkitkan Ingatan Kolektif
Dalam situasi genting seperti ini, mengubah keadaan memang terlihat sulit. Namun, Jaga Semesta optimis kalau akan selalu ada jalan menuju masa depan berkelanjutan. Nyatanya, untuk merestorasi mata air, mereka justru lebih mengedepankan metode—metode sederhana yang bisa direplikasi di banyak tempat.
Sebelum memulai proses pemulihan, tim Jaga Semesta akan mempelajari karakter air di wilayah sasaran untuk memahami siklus, daerah resapan, dan tutupan lahan. Sebagian informasi biasanya didapat dari jurnal ilmiah dan sebagian lainnya diambil dari ingatan kolektif warga.
Tim Jaga Semesta akan berkoordinasi dengan relawan lokal dan bertemu penduduk untuk mendengarkan cerita-cerita mereka. Dalam tahap ini, biasanya Jaga Semesta akan mengajukan sejumlah pertanyaan terkait mata air, seperti bagaimana debit airnya dulu? Di mana munculnya? Kapan alirannya mulai berkurang?
![]() |
| Koordinasi antara warga dan tim Jaga Semesta. Foto: Dokumentasi Jaga Semesta |
Ingatan kolektif dari masyarakat sangat berharga karena bisa digunakan untuk menelusuri jejak perubahan yang terjadi di alam. Memori mereka menjadi pelengkap, karena sering kali pengetahuan lokal itu tak tercatat maupun tercantum dalam jurnal.
Melalui kisah para sesepuh desa, tim Jaga Semesta bisa memetakan lokasi sumber air yang dulu ada, mengenali pola perubahan debit air, serta menentukan area-area yang perlu dipulihkan.
Setelah seluruh informasi terkumpul, barulah proses restorasi dimulai. Warga dan tim Jaga Semesta bergotong royong membersihkan sedimen, mengangkat semen dan lumpur, membuat lubang pemantik tekanan, rorak (parit resapan air), dan menanam pohon endemik seperti ficus dan bambu yang berfungsi untuk menahan air dan mencegah sedimentasi datang kembali.
Modal Utama Keberhasilan Restorasi Mata Air
Meskipun metode pemulihannya sederhana, setiap warga harus membawa serta semangat dan sikap saling menghargai yang besar. Menurut Jaga Semesta, keduanya adalah modal utama keberhasilan restorasi.
Namun, kondisi ideal ini tidak selalu terpenuhi. Menyamakan persepsi dengan masyarakat kadang menjadi tantangan tersendiri. Di awal terbentuknya, banyak masyarakat dari berbagai daerah menghubungi tim Jaga Semesta dan berharap tim akan datang dan mengerjakan semuanya. Padahal, Jaga Semesta tidak seperti itu. Pelibatan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan kegiatan ini berkelanjutan.
Restorasi di Boyolali bisa menjadi contoh bagaimana semangat gotong royong dan sikap saling menghargai mampu membawa perubahan. Sebelum tim Jaga Semesta datang, warga di sana sudah berinisiatif membersihkan sungai mereka sendiri setiap akhir pekan. Mereka pun sudah berupaya memulihkan mata air walau masih di tahap “trial and error”.
![]() |
| Warga bergotong royong membersihkan mata air dari sedimen dan lumpur. Foto: Jaga Semesta |
Melihat inisiatif yang begitu besar, tim Jaga Semesta tergerak untuk memberi bantuan-bantuan teknis terkait ilmu hidrologi yang saat itu belum dimiliki oleh penduduk setempat. Mereka bahkan tak ragu untuk datang ke lokasi dan turut membersihkan sedimen bersama warga. Padahal, waktu itu sudah ada 30 lokasi lain yang menunggu untuk dibantu proses restorasinya.
Di sana, warga dari berbagai generasi, mulai dari usia 20-an, 40-an, hingga 60-an, bekerja berdampingan. Mereka saling mendengarkan dan berbagi pendapat demi mencapai tujuan bersama.
Kegiatan juga dilakukan dengan suasana akrab dan guyub. Warga terlihat bergantian membersihkan mata air, lalu beristirahat sambil menikmati nasi jagung, pecel sayur, teh, dan kopi. Jeda sederhana ini membuat proses restorasi yang berat jadi terasa lebih menyenangkan.
Jika di banyak tempat komunikasi kerap menjadi batu sandungan, di Boyolali justru sebaliknya. Komunikasi menjadi jembatan yang membawa perubahan.
Satukan Gerak - Kolaborasi Dengan Banyak Pihak
Selain bersama warga, Jaga Semesta juga merangkul berbagai pihak. Mereka bahkan menegaskan kalau gerakan ini tidak akan terlaksana tanpa bergandengan tangan dengan pemerintah, akademisi, kelompok tani, ibu-ibu PKK, hingga dengan organisasi yang memiliki tujuan serupa. Mereka semua adalah aktor utama di balik keberhasilan pemulihan mata air yang telah berjalan.
Kolaborasi inilah yang kemudian menjadi solusi nyata ketika tantangan muncul di lapangan. Dalam kegiatan penanaman pohon misalnya, tim Jaga Semesta sempat menghadapi kesulitan mencari bibit beringin. Bibit pohon ini rupanya sulit didapat dan sering kali sudah dibonsai. Padahal, pohon ini bermanfaat untuk menyerap air dan menghindari sedimentasi yang sering menyumbat mata air.
Untungnya, mereka bermitra dengan inisiatif lain yang memiliki persediaan bibit pohon tersebut. Berkat dukungan ini, proses penanaman di sekitar mata air tetap bisa dilaksanakan, dan keberagaman vegetasi di lokasi restorasi bisa terjamin.
Kekuatan kolaborasi juga terlihat dalam keterlibatan lebih dari 500 relawan. Mereka datang dari berbagai daerah, bahkan ada yang berasal dari Singapura. Para relawan berkontribusi dengan cara yang beragam. Field volunteer turun langsung ke lapangan. Mereka membersihkan mata air, melakukan dokumentasi, memantau debit air di daerah masing-masing, serta melakukan analisis sederhana keanekaragaman hayati. Sementara non-field volunteer berperan di balik layar sebagai penulis cerita, video editor, dan desainer visual.
![]() |
| Foto: Dokumentasi Jaga Semesta |
Terus Berdampak Demi Masa Depan Berkelanjutan
Seperti air yang terus mengalir, Jaga Semesta juga terus mengalirkan pengetahuan kepada masyarakat. Warga di berbagai desa di Boyolali, Blitar, Kulon Progo dan Mojokerto, kini sudah lebih mandiri dalam menjaga dan merawat sumber airnya. Selain pemeliharaan sederhana, mereka juga mampu mengidentifikasi masalah yang muncul, serta mencari solusi bersama tanpa harus menunggu pendampingan langsung. Namun, jika diperlukan, mereka tetap dapat berkonsultasi secara daring dengan tim Jaga Semesta.
Dari proses ini, muncul para local champion atau para pahlawan lokal yang mampu meneruskan pengetahuan dan semangat kepada warga di sekitarnya. Mereka, para penjaga air, menjadi penggerak yang memastikan upaya restorasi tidak berhenti di inisiator gerakan, atau di satu generasi saja. Karena sampai kapan pun, air akan diperlukan untuk menghidupkan peradaban mendatang di tanah Jawa.
![]() |
| Transfer pengetahuan antara warga dan Fainta Negoro, pendiri Jaga Semesta. Foto: Dokumentasi Jaga Semesta |
Selain bekerja di lapangan, Jaga Semesta juga berperan penting dalam menyebarkan pengetahuan dan kisah tentang air kepada masyarakat luas.
Melalui kanal digital mereka, Jaga Semesta berhasil menjadikan isu lingkungan yang sering dianggap sulit menjadi dekat, menarik, dan relevan bagi banyak orang. Tak jarang kolom komentar mereka disinggahi oleh kepala daerah yang juga ingin belajar sekaligus berkolaborasi untuk menghidupkan kembali mata air di desa-desa yang berada di bawah kepemimpinannya. Mereka tahu, air sangat krusial untuk memajukan daerahnya.
Hingga artikel ini diterbitkan, Jaga Semesta sudah memiliki lebih dari 163.000 pengikut di media sosial. Konten yang mereka bagikan kerap viral. Salah satu video mereka, tentang proses restorasi mata air di Kediri, telah ditonton lebih dari 1,9 juta kali. Sementara video edukasi tentang rain garden (taman hujan) mencapai 8,8 juta penayangan.
Konten ini tidak hanya mengedukasi, tetapi juga menginspirasi masyarakat untuk menjadi relawan. Beberapa di antaranya bahkan tergerak untuk menjadi penjaga mata air di daerahnya masing-masing, termasuk yang berada di luar Pulau Jawa.
Berkat dedikasinya, Melissa Mina, mewakili seluruh tim Jaga Semesta, menerima penghargaan bergengsi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards 2024 kategori lingkungan dari provinsi Jawa Barat. Ini merupakan wujud apresiasi Astra untuk generasi muda, baik individu maupun kelompok yang memiliki kepeloporan dan melakukan perubahan bagi masyarakat di sekitarnya.
Penghargaan ini bukanlah akhir, melainkan pengingat untuk terus bersinergi memulihkan mata air, demi memberikan dampak berkelanjutan bagi ibu pertiwi.
![]() |
| Melissa Mina, Co-Founder Jaga Semesta. Penerima Penghargaan Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2024. Foto: Katadata Indonesia |
Jaringan Penjaga Air 2040
Sekalipun telah menorehkan capaian luar biasa, Jaga Semesta masih terus berjuang untuk mewujudkan mimpi besarnya, yakni membentuk jaringan penjaga air di seluruh Indonesia pada tahun 2040 mendatang.
Misi ambisius ini hanya bisa tercapai jika kita semua turut serta dalam rantai perjuangannya. Dengan bergandengan tangan, malapetaka di masa depan itu bisa kita cegah, beban ganda kaum rentan pun bisa kita angkat. Namun, semuanya ditentukan oleh tindakan kita sekarang.
Beberapa contoh aksi sederhana yang dapat kita lakukan yaitu dengan berpartisipasi dalam gerakan #PulangkanAir yang mereka gagas. Caranya dengan membuat rorak, menanam pohon endemik, menggali lubang biopori, hingga membuat taman hujan di pekarangan rumah. Semua upaya ini sangat bermanfaat untuk membantu air hujan "pulang" ke dalam tanah. Air tanah, sumur, dan mata air jadi dapat terisi kembali.
Melalui kanal sosial medianya, Jaga Semesta juga mengundang seluruh masyarakat untuk mendokumentasikan gerakan menjaga air tersebut melalui aplikasi Epicollect5. Dengan memanfaatkan teknologi terbaru ini, usaha setiap individu, sekecil apapun itu, akan tercatat dengan rapi. Hasil kerja masyarakat pun dapat menjadi ingatan kolektif yang lebih terukur, terpantau, dan diharapkan mampu mengalirkan manfaat nyata bagi negeri, melintasi generasi.
![]() |
| Tampilan aplikasi Epicollect5 yang bisa kita gunakan untuk mendukung gerakan #PulangkanAir yang digagas oleh Jaga Semesta |
***
Dukung Jaga Semesta dan para relawan dalam aksi menyelamatkan air di:
Kanal Youtube Resmi: Jaga Semesta
Instagram: @JagaSemesta
#SatukanGerakTerusBerdampak #KitaSATUIndonesia
Referensi:
Wawancara dengan Reza Ayatullah, perwakilan Jaga Semesta Chapter Boyolali melalui Zoom Meeting dan WhatsApp.
https://www.greeners.co/aksi/komunitas-jaga-semesta-lindungi-mata-air-demi-cegah-krisis-air-2040/
https://www.tempo.co/arsip/konflik-air-tanah-antara-warga-dan-hotel-di-yogyakarta-832433
https://wri-indonesia.org/id/wawasan/menghadapi-virus-korona-tanpa-air-bersih









0 comments