Period Poverty, Isu di Indonesia dan Dunia yang Tidak Terdengar

Sunday, March 06, 2022

Sebagian wanita mengalami menstruasi pertamanya di sekolah, sebagian lainnya di rumah. 

Tapi ternyata, ada juga remaja yang harus menghadapi menarche atau menstruasi pertamanya di pengungsian.

***

“Frustasi dan tidak berdaya”, adalah dua kata yang mewakili perasaan remaja ini saat harus berada di kondisi tersebut. Bagi yang belum pernah merasakan gempa bumi skala besar, dua kata tersebut mungkin saja terkesan berlebihan. 

Tapi berhubung saya juga pernah menjadi salah satu korban gempa, saya mengerti sekali kenapa remaja ini merasa frustasi. Dan sebagai sesama perempuan, saya bisa memahami kenapa dia sampai merasa tidak berdaya saat harus mengalami menstruasi di pengungsian.

Tebakan saya, rasanya pasti seperti mendapatkan bencana di dalam bencana.

Banyak yang tidak tahu, ketidakberdayaan korban gempa tidak hanya disebabkan oleh guncangan itu sendiri. Melainkan karena ada faktor-faktor lain.

Misalnya, setelah gempa utama, ratusan gempa susulan masih sering datang. Saat itu, listrik juga mati total. Kondisi satu pulau gelap hitam.

Besoknya, air tanah jadi berwarna coklat keruh. Bahkan di sebagian wilayah lain, pipa-pipa air rusak, sehingga keran tidak meneteskan air sama sekali.

Selain itu, banyak bangunan yang rusak. Rumah yang dibangun tanpa tulang atau pondasi yang baik, bahkan hancur berantakan. Semua orang tidak ada yang berani kembali ke kediamannya, termasuk saya! Padahal saat itu saya termasuk beruntung, karena rumah dan seisinya masih utuh. 

Tapi...saya dan semua warga tetap saja takut.

Perjalanan ke kamar mandi yang hanya beberapa meter saja di dalam rumah, terasa sangat beresiko dan menyeramkan. Kami takut tiba-tiba rumah runtuh.

Di wilayah yang terdampak parah, gempa juga membuat warung tutup. Masyarakat tidak bisa membeli kebutuhannya, termasuk pembalut. 

Coba bayangkan…

Dalam kondisi gempa, tanpa air, tanpa penerangan, tanpa kamar mandi, tanpa pembalut dan tanpa pakaian dalam, wanita mana yang tidak merasa frustasi jika sedang datang bulan?

***

Ternyata masalah ini adalah problematika berulang. Ribuan remaja pengungsi lain juga pernah mengalami nasib serupa. Dalam kasus gempa bumi di Sumatera Barat pada tahun 2009 silam misalnya, hampir 100% remaja mengaku kekurangan produk menstruasi, khususnya pembalut. Mereka juga butuh pakaian dalam, dan obat-obatan pereda nyeri menstruasi. 

Kondisi ini membuat mereka tidak bisa menjalankan aktivitas normal. Mereka malu untuk bertemu orang lain (karena khawatir darah akan tembus), memilih untuk tidur atau duduk saja di tenda, mengurung diri, dan bahkan menangis.

Kita tahu bencana demi bencana terus menghantam Indonesia setiap tahun. Ribuan insan di negeri kita terpaksa menjadi pengungsi akibat banjir, gunung meletus, tanah longsor, gempa bumi, hingga tsunami. Masalah di atas bisa saja terulang selama praktik penanganan bencana di negara kita belum baik.

Bukan Hanya di Indonesia

Dua kata “frustasi dan tidak berdaya”, sejujurnya membuat saya gelisah. Dalam imajinasi ideal saya, seharusnya tidak ada satupun wanita yang patut merasakan situasi tersebut. 

Tapi semakin banyak mencari, semakin banyak juga fakta-fakta yang saya temui. Ternyata di dunia ini masih ada kondisi yang disebut dengan period poverty. 

Period poverty adalah isu global. Ia diartikan sebagai segala hambatan yang menyebabkan perempuan di seluruh dunia kesulitan untuk mendapatkan akses ke produk dan pendidikan terkait menstruasi. Period poverty juga meliputi tidak tersedianya air bersih dan sanitasi, stigma dan tabu di masyarakat, dan minimnya fasilitas pengelolaan limbah produk menstruasi.

Jadi ruang lingkupnya lebih besar. Berkaitan dengan ekonomi, kesehatan, pendidikan, budaya, bahkan politik.

Period poverty rupanya tidak hanya dialami oleh wanita di pengungsian. Tapi juga rentan dialami oleh narapidana, homeless (tunawisma), wanita korban konflik atau peperangan, dan setiap wanita yang berada di garis kemiskinan. Di negara barat, kaum transman (perempuan yang memilih identitas gender sebagai laki-laki), juga dikategorikan sebagai kelompok yang rentan terhadap period poverty ini.

Banyak cara yang mereka lakukan untuk survive. Tapi tentunya cara-cara tersebut tidak manusiawi dan tidak bisa dibiarkan terus terjadi. 


Image from: https://themeteor.org/2018/07/17/the-hidden-shame-of-period-poverty/

Pengungsi wanita di wilayah konflik mengaku terpaksa menggunakan tisu toilet, kain lap, dan busa kasur untuk menyerap darah menstruasinya. Saat sedang berlayar berbulan-bulan menuju tanah baru yang lebih aman, mereka tidak membekali diri dengan produk menstruasi. Sebab, ketika hendak naik kapal, mereka diminta untuk membawa tas sekecil dan seringan mungkin. 

Sedangkan wanita tunawisma di Amerika Serikat, harus menggunakan koran, kardus, tisu toilet, ataupun benda-benda tak layak lainnya sebagai pengganti produk menstruasi yang tidak mampu mereka beli. Bagi mereka, koran dan kardus mudah di dapat dari tempat sampah daur ulang. Sedangkan tisu toilet bisa mereka ambil dari toilet umum yang terletak di taman-taman.


Sssssstttt…..!!! Tabu!

Mematahkan stigma dan tabu adalah salah satu langkah penting yang harus dilakukan untuk menuntaskan period poverty

Dalam kasus di negara kita, sebagian pengungsi mengaku merasa sungkan dan malu untuk meminta pembalut dan pakaian dalam kepada relawan yang sebagian besar adalah laki-laki. 

Rasa malu dan sungkan ini, timbul karena adanya tabu di masyarakat. Menstruasi seolah menjadi hal yang tidak boleh dibicarakan, terutama dengan lawan jenis. Sejak masa sekolah pun, kita bahkan terbiasa menggunakan istilah “roti jepang” untuk mengatakan “pembalut” agar tidak malu jika didengar siswa laki-laki.

Di negara barat seperti Amerika Serikat, tabu pun masih melekat. Kode-kode seperti “Aunt flo, time of the month, on the rag, shark week, strawberry week, dll, dipakai untuk menggantikan kata “menstruasi”.

Di sebagian wilayah Nepal, stigma dan tabu terkait menstruasi bahkan lebih kental daripada di negara kita. Wanita yang sedang menstruasi dianggap kotor dan membawa nasib buruk. Untuk itu, wanita yang tinggal di pedalaman masih harus pergi ke period hut, atau gubuk pengasingan selama masa menstruasi.

Kebanyakan, gubuk tersebut berada dalam kondisi yang buruk. Ukurannya kecil dan tidak memiliki sirkulasi udara yang baik. Banyak kasus dimana perempuan yang diasingkan menjadi sakit atau meninggal karena keracunan karbon monoksida dari perapian saat menghangatkan diri. Ada juga yang mati karena gigitan ular berbisa.

Praktik ini sebetulnya sudah dinyatakan ilegal oleh pemerintah setempat sejak tahun 2005, dan hukuman terhadap pelanggar telah diberikan sejak tahun 2017 yang lalu. Sayangnya, tradisi ini masih bertahan hingga sekarang.

Laki-Laki juga Harus Tahu

Saat masih menjabat sebagai presiden Amerika Serikat, Obama pernah ditanya oleh seorang YouTuber terkenal. Mengapa produk menstruasi di sebagian negara bagian Amerika Serikat masih dikenakan pajak barang mewah (yang mana tidak masuk akal) ?

Mau tau jawaban Obama saat itu? I have to tell you, I have no idea why states would tax these as luxury items. I suspect it’s because men were making the laws when those taxes were passed.”

Ternyata Obama juga tidak tahu kenapa produk menstruasi masih dikenakan pajak barang mewah. Dugaannya, karena pembuat undang-undang saat itu adalah laki-laki.

Jawaban Obama tersebut mengindikasikan bahwa pemimpin (dan calon pemimpin) perlu memiliki kesadaran dan kepekaan gender. Mereka harus tahu bagaimana keputusan yang dibuatnya dapat berdampak kepada gender lainnya. Tidak hanya dalam kebijakan yang menyangkut pajak, tetapi juga dalam setiap keputusan yang dibuat. 

Hak Asasi Manusia yang Harus Digaungkan

Akses kepada produk menstruasi adalah hak asasi manusia. Sama pentingnya dengan makan dan minum. Miris dan sedih rasanya jika masih ada wanita yang hilang martabat dan kepercayaan dirinya hanya karena sedang mengalami haid.

Namun nyatanya, sampai saat ini period poverty masih terjadi di seluruh dunia. Dan malangnya, isu ini jarang terdengar. Bukan karena tidak penting, tetapi karena tabu. Sehingga banyak yang tidak berani menuntut hak terkait kesehatan reproduksinya dan orang lain.

Jadi kira-kira, apa ya yang bisa kita lakukan untuk melawan period poverty? Ini beberapa ide yang terpikirkan oleh saya:

  • Membagikan informasi: kita bisa membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dengan cara menulis di blog, sosial media, dll.

  • Memberikan donasi: bisa berupa kit menstruasi, kebutuhan sanitasi, dll kepada korban bencana, remaja di panti asuhan, atau siapapun yang memerlukan.

  • Edukasi: kita dapat mengedukasi diri sendiri, anggota keluarga (termasuk laki-laki), teman dan komunitas mengenai kesadaran gender, kesehatan reproduksi, stigma dan tabu terkait menstruasi, 

  • Corporate Social Responsibility: sektor swasta juga bisa menjadikan period poverty sebagai bagian dari program corporate social responsibility.

Apa teman-teman punya ide lain?

You Might Also Like

2 comments

  1. ini yang selama ini aku pikirkan juga. Dalam keadaan normal saja datang bulan benar-benar menguras emosi, apa lagi dalam kondisi sedang mengungsi dan kondisi tidak mengenakkan lainnya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. We take everything for granted ya...padahal byk perempuan yg nggak bisa mengalami menstruasi dlm kondisi layak.

      Delete

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas