Menanti Akhir Bahagia bagi Masyarakat Adat di Nusantara

Monday, April 10, 2023

Membaca kisah demi kisah dan lika-liku kehidupan Masyarakat Adat, rupanya tak jauh berbeda dengan menyimak  drama Korea. Ada yang bergenre slice of life, crime, noir, bahkan melodrama. Namun sayangnya tak ada satupun yang bergenre komedi, dan semuanya masih menunggu happy ending.



***


Siapa sebenarnya masyarakat adat? Apakah mereka adalah orang-orang yang tinggal di pedalaman dengan pakaian ala kadarnya?


Apakah mereka merupakan orang-orang yang jauh dari pengetahuan, dan terbelakang?


Apakah mereka adalah etnis eksotis yang cocok untuk menjadi latar foto-foto di Instagram?


Jika itu semua adalah definisi masyarakat adat yang ada di benak kita, maka saya mengajak teman-teman untuk unlearn pengetahuan tersebut, dan mulai install definisi baru ini:



Menurut AMAN, sebuah komunitas bisa disebut sebagai Masyarakat Adat (atau dalam konteks global disebut sebagai indigenous people), jika memiliki:


Identitas budaya - bahasa, spiritualitas, nilai-nilai, serta sikap dan perilaku yang sama.


Wilayah adat (ruang hidup) - tinggal di teritori tertentu dan terikat antara satu sama lain. Ruang hidup ini termasuk hutan, namun bukan untuk tujuan ekonomi semata, melainkan juga menyangkut sistem religi dan sosial budaya.


Sistem nilai dan pengetahuan -  Masyarakat Adat tersebut memiliki pengetahuan tradisional. Seperti pengobatan, perladangan, konservasi lingkungan, dsb.


Hukum adat dan kelembagaan adat - Memiliki aturan-aturan dan tata hidup untuk mengatur kelangsungan hidup mereka.


Di awal, saya menyebutkan kalau kehidupan Masyarakat Adat penuh dengan lika-liku bak K-drama. Hmm… sebetulnya permasalahan apa saja yang mereka alami?


Masyarakat Adat, Bertahan dalam Tantangan


Masyarakat Adat sebagai kelompok minoritas seringkali mengalami diskriminasi, stigma, kekerasan, intimidasi, dan kriminalisasi. Biasanya hal ini berhubungan dengan isu konflik lahan dengan pihak lain yang lebih punya kekuasaan. Ketika terjadi konflik, kadang nyawa Masyarakat Adat pun menjadi taruhan.


Masyarakat Adat juga seringkali menjadi korban pembangunan yang tak terarah alias sasaran. Misalnya seperti yang terjadi pada Rumah Betang Ensaid Panjang di Sintang, Kalimantan Barat. Rumah kayu suku Dayak tersebut terancam digusur karena pemerintah ingin membuatkan rumah petak bagi masing-masing keluarga. Sebuah rumah yang lebih modern, dan dianggap bisa menciptakan kualitas hidup yang lebih baik. Terdengar indah dan mulia, ya? Tapi tidak bagi Masyarakat Dayak. 


Sebagai manusia yang bisa berpikir seperti kita, mereka langsung menyuarakan penolakannya terhadap rencana tersebut. Pasalnya, rumah Betang Ensaid Panjang yang mereka miliki, merupakan satu-satunya rumah tradisional yang tersisa. Kediaman ini bukan cuma sekadar rumah, tetapi juga tempat untuk meneruskan pengetahuan, tradisi dan budaya masyarakat Dayak. Di rumah Betang tersebut, masyarakat Dayak bersosialisasi tak kenal batas usia.


Selama ini, masyarakat Dayak memang tinggal bersama-sama di rumah Betang. Ada 32 kepala keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Jika menurut teman-teman hal ini terdengar aneh, sebetulnya tidak sama sekali. Menurut saya, tradisi mereka ini malah mirip dengan konsep co-housing yang sudah populer di Denmark sejak tahun 60-an, dimana masyarakat tinggal dalam satu rumah yang memiliki ruang privat, dan ruang bersama untuk berkumpul dengan komunitas. Di sana, Co-housing dianggap solusi bagi keterbatasan lahan, serta dapat mempererat solidaritas. 


Dalam konteks masyarakat Dayak, rumah Betang mereka juga memiliki ruang baruah yang merupakan bilik khusus untuk setiap keluarga, serta bilik tidur yang merupakan area privat. Yang istimewa, tentu saja ruang komunal mereka yang sangat panjang dan luas, mirip dengan balai atau aula yang terbuat dari kayu.


Di rumah dengan ukuran panjang 116m dan lebar 18m tersebut, mereka berkumpul bersama puluhan keluarga lain setiap hari. Masyarakat bercengkrama, belajar menenun, menganyam, belajar berladang, melestarikan tata krama, budaya, dsb. Karena ada banyak keluarga yang tinggal, rumah betang pun selalu ramai. Dijamin tak akan ada yang kesepian jika kita bermukim disana, termasuk para lansia. 


Namun suasana ini tentunya akan lenyap jika mereka tinggal di rumah petak. Bentuk interaksi akan berubah total. Aturan hidup bersama pasti hilang dan kehangatan komunitas yang jadi taruhan. Selain itu, budaya dan tradisi mereka terancam hilang.


Kalau sudah begini, apakah program pemerintah tersebut tepat sasaran? Atau justru membuang-buang uang? 


***

Drama berbeda juga dialami oleh Masyarakat Adat di Sorowako, Sulawesi. Salah satu Masyarakat Adat di sana sempat dipenjara lantaran dikriminalisasi oleh perusahaan tambang.


Perkara ini terjadi ketika masyarakat protes atas hutan hujan dan perkebunan mereka yang dijadikan area penambangan. Bermodalkan izin dari pemerintah, mereka terus memperluas area tambangnya hingga 70.000 hektar! Menurut penuturan warga, pihak perusahaan tak pernah berdiskusi ataupun basa-basi. Masyarakat Adat dianggap tidak ada. Tau-tau patok sudah dipasang, tau-tau bulldozer sudah datang, tau-tau ladang mereka hilang. Hal ini sudah dilakukan bertahun-tahun lamanya.


Akibatnya, masyarakat Adat kini tak bisa bercocok tanam, dan terpaksa ikut menjadi buruh tambang. Menurut mereka, beban kerja dan risiko kesehatan yang diterima dari pekerjaan sebagai buruh tak sebanding dengan penghasilan yang didapat. Sedangkan pemasukan dari menanam merica dirasakan lebih tinggi. 


Jika sudah begini, tentu masyarakat tak terima. Bukankah kegiatan penambangan besar-besaran tersebut seharusnya membawa kesejahteraan bagi rakyat Indonesia? Minimal bagi Masyarakat Adat di sekitarnya. Tapi hasilnya? Silakan isi sendiri.


Kehidupan Masyarakat Adat kian memburuk lantaran perusahaan menghilangkan akses ke air bersih. Kini mereka hanya bisa mengkonsumsi air sungai yang telah terkontaminasi lumpur tambang setiap hari.


Klimaks cerita terjadi pada saat Masyarakat Adat melakukan demonstrasi. Pihak perusahaan tambang malah sengaja memancing kemarahan Masyarakat Adat dengan cara menabrakkan bus dengan kecepatan tinggi ke arah mereka.  Masyarakat Adat yang marah akhirnya merusak bus tersebut. 


Situasi ini berakhir dengan penangkapan sebagian Masyarakat Adat yang dianggap bertindak sebagai provokator. Setelah enam bulan mendekam di penjara, mereka pun dibebaskan. Itu pun karena mereka mendapatkan bantuan hukum dari organisasi internasional. Jika tidak, entah bagaimana nasib mereka.


***

Dua cerita di atas hanya sebagian saja. Masih ada lagi cerita dengan plot yang lebih nahas, lebih kelam, lebih dark, noir. Seperti yang dialami oleh Masyarakat Adat di Toruakat di Sulawesi Utara, Upaya masyarakat agar wilayah adatnya tidak dieksploitasi menjadi tambang emas, justru berujung dengan penembakan yang menghilangkan nyawa dan sebagian lainnya luka-luka. Ah, genre yang berdarah-darah bukan favorit saya.


Ada pula kisah Masyarakat Adat Baduy di Banten yang menguras air mata bagai genre melodrama. Masyarakat Baduy yang terkenal sangat menjaga lingkungan, menangis karena penambang emas ilegal masuk ke wilayah hutan larangannya. Padahal dalam tatanan masyarakat Baduy terdapat peraturan adat yang berbunyi "Gugung teu meunang dileburLebak teu meunang diruksak" yang berarti gunung tak boleh dihancurkan, lembah tak boleh dirusak. Masyarakat Baduy percaya, jika hutan larangan mereka rusak, maka bencana akan datang menghantam manusia. Apalagi gunung yang dijadikan tambang tersebut merupakan hulu dari berbagai aliran sungai. Terbayang kan dampak kerusakannya akan seperti jika terus dibiarkan?


Rumah Idaman, Pelindung Krisis Iklim


Arti rumah ideal bagi Masyarakat Adat, tentunya sangat berbeda dengan kita. Bukan  rumah dengan interior ala japandi, scandinavian, atau bahkan American classic yang mereka inginkan. Bukan yang berlantai vinyl, parket, maupun granit yang mereka idamkan. Bukan juga yang dekat dengan sekolah internasional, sarana transportasi, dan pusat perbelanjaan. Tetapi hutan yang terjaga, dimana mereka bisa  berkumpul, belajar dan bercengkrama bersama komunitas, merupakan wujud rumah yang didambakan. Rumah idaman bagi mereka adalah rumah tradisional, yang bahan-bahannya diambil dari alam. Rumah dambaan mereka adalah yang terdapat ladang luas, sehingga mereka bisa bercocok tanam dan memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Rumah ideal mereka adalah yang dekat dengan danau jernih untuk berenang dan menangkap ikan, tanpa perlu ke pasar.


Jika kita berhak memiliki definisi rumah impian, mengapa masyarakat adat tidak? Apalagi rumah impian mereka sejatinya mengusung konsep sustainability atau keberlanjutan yang sangat berharga. 


Rumah mereka adalah hutan-hutan, pemberi nafas untuk kita si orang kota yang malas menanam. Rumah mereka adalah sumber cadangan air yang berharga untuk masa depan, bagi kita si orang "modern" yang selalu pakai air kebablasan. Rumah mereka adalah tempat mempertahankan budaya dan keragaman Indonesia. 


Jika kita turut melindungi hak-hak Masyarakat Adat dalam menjaga wilayah hutan selaku rumah mereka, artinya kita telah melindungi jutaan masyarakat Indonesia lainnya dari ancaman krisis iklim di masa depan. Turut pula membantu menjaga kekayaan flora-fauna yang ada di dunia. Sebab menurut PBB, walau jumlah Masyarakat Adat dunia hanya 6% dari total populasi global, namun mereka berhasil menjaga 80% keanekaragaman hayati yang ada di Bumi. Semuanya mereka lakukan dengan pengetahuan dan kearifan lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Tanpa budget konservasi, tetapi mereka jaga dengan senang hati.


Tak heran  jika PBB pun mendeklarasikan Masyarakat Adat sebagai penjaga warisan budaya dan lingkungan yang harus dihargai jasanya. Namun, apakah perlakuan terbaik telah mereka terima?


Menunggu Happy Ending




Menurut organisasi AMAN, penulisan kata "Masyarakat Adat" sebaiknya diawali dengan huruf kapital untuk mempertegas keberadaan mereka sebagai subjek hukum. Di negara kita, belum ada undang-undang yang melindungi Masyarakat Adat. Oleh sebab itu, drama-drama di atas mudah sekali terjadi. Satu kali, dua kali, lalu kebablasan hingga ratusan kali.


Sama seperti ketika menonton drama. Akan ada karakter-karakter yang kita sukai, ada pula yang tidak. Dalam konteks cerita Masyarakat Adat, mereka adalah karakter favorit saya, yang berhasil mencuri empati dan hati saya, serta yang paling saya harapkan mendapatkan happy ending


Dalam cerita ini tentu juga ada tokoh-tokoh sampingan yang terlibat, seperti pemerintah, kepolisian, dan perusahaan tambang. Tapi jujur saja, saya masih tak paham apakah mereka pemeran antagonis atau bukan. Kadang dalam sebuah drama, sebetulnya tak ada satupun tokoh yang betul-betul jahat. Yang abu-abu pun banyak. Saya masih harus menggali watak asli mereka, dan membiarkan cerita bergulir untuk melihat kenyataan sebenarnya. Untuk saat ini, saya memilih untuk berprasangka baik saja.


Meskipun demikian, saya pribadi berharap agar Masyarakat Adat mendapatkan akhir yang bahagia. Pengesahan RUU masyarakat adat adalah salah satu cara untuk mendapatkan happy ending tersebut. RUU ini telah ada lebih dari satu dekade yang lalu, tapi tak kunjung disahkan. 


Jika RUU ini disahkan, berarti pemerintah kita serius untuk melindungi lebih dari 40-70 juta Masyarakat Adat yang ada di Nusantara. Juga menjadi bukti nyata bahwa mereka peduli pada masa depan Indonesia yang berkelanjutan. 


Ah, tapi episode drama ini masih panjang. Akhir ceritanya masih belum ketahuan, dan saya penasaran.


Bagaimanakah ending yang teman-teman harapkan?


Referensi:


https://aman.or.id/news/read/mengenal-siapa-itu-masyarakat-adat


https://www.aman.or.id/story/betang-ensaid-panjang:--rumah-pengetahuan-leluhur-terakhir-yang-terancam-hilang


https://www.hutanhujan.org/updates/11143/keberhasilan-tahun-2022-menjaga-hutan-hujan-membebaskan-masyarakat-adat-dari-penjara


https://www.aman.or.id/news/read/seorang-tewas-atas-penyerangan-terhadap-masyarakat-adat-toruakat-di-sulut


https://www.google.com/amp/s/www.liputan6.com/amp/4539441/mengetahui-ada-tambang-emas-dekat-perkampungan-tetua-adat-baduy-menangis


https://nasional.tempo.co/read/1700258/ruu-masyarakat-adat-diharapkan-segera-disahkan


You Might Also Like

0 comments

MY SCIENCE EDUCATION WEBSITE

A Member of

A Member of

Komunitas